Semakin banyak masyarakat Amerika yang mengalami keterlambatan pembayaran mobil pada tingkat yang belum pernah terjadi sejak awal tahun 1990an, sehingga meningkatkan kekhawatiran mengenai ketidakstabilan ekonomi yang lebih luas. Data terbaru dari Fitch Ratings mengungkapkan bahwa 6,65% peminjam mobil subprime setidaknya menunggak 60 hari di bulan Oktober – sebuah rekor tertinggi. Lonjakan angka gagal bayar ini bukan hanya sebuah perubahan kecil pascapandemi; ini adalah tren yang memburuk dan dapat menimbulkan konsekuensi signifikan baik bagi individu maupun sektor keuangan.
Krisis Subprime Semakin Mendalam
Data ini berfokus pada peminjam subprime – individu dengan nilai kredit lebih rendah yang menghadapi suku bunga lebih tinggi. Umumnya mereka adalah orang-orang yang memiliki fleksibilitas keuangan terbatas, sehingga merekalah yang paling rentan ketika tekanan ekonomi meningkat. Sementara peminjam utama (yang memiliki kredit bagus) mempertahankan tingkat tunggakan yang stabil sebesar 0,37%, sektor subprime menunjukkan keretakan yang serius.
Situasinya sangat parah sehingga dua pemberi pinjaman subprime AS, Tricolor dan PrimaLend, masing-masing mengajukan pailit pada bulan September dan Oktober. Hilangnya pilihan pinjaman ini semakin membatasi akses terhadap kredit bagi peminjam yang sudah kesulitan.
Mengapa Ini Penting
Gagal bayar pinjaman mobil sering kali merupakan indikator awal kesulitan keuangan yang lebih luas. Ketika keluarga terpaksa memilih antara kebutuhan seperti makanan, sewa, dan cicilan mobil, pinjaman mobil sering kali menjadi pilihan pertama. Ini bukan hanya tentang mobil; hal ini mencerminkan tekanan yang lebih besar pada anggaran rumah tangga.
Total utang pinjaman mobil di AS kini melebihi $1,66 triliun, dan Federasi Konsumen Amerika (CFA) yakin bahwa masalah pembiayaan mobil ini menandakan masalah ekonomi yang lebih besar yang belum sepenuhnya terwujud.
Perspektif yang Bertentangan
Tidak semua orang setuju dengan parahnya situasi ini. Beberapa analis, seperti di Cox Automotive, berpendapat bahwa tidak ada risiko langsung terjadinya “efek domino” yang meluas. Namun, meningkatnya tingkat tunggakan dan kebangkrutan pemberi pinjaman menunjukkan semakin rapuhnya pasar pembiayaan otomotif.
Fakta bahwa tingkat utang yang gagal bayar sama dengan tingkat yang terjadi pada awal tahun 1990an tidak boleh diabaikan. Ini adalah sinyal yang jelas bahwa banyak orang Amerika sedang berjuang untuk mengimbangi kenaikan biaya, dan konsekuensinya bisa lebih dari sekedar penyitaan kendaraan.
Meningkatnya jumlah gagal bayar (default) menyoroti tekanan pada konsumen Amerika, dan tren ini memerlukan pemantauan ketat sebagai indikator utama kelemahan ekonomi yang lebih luas.






































